We deserve better....

Berapa banyakkah KDRT, kekerasan dalam rumah tangga, terjadi dalam populasi umum? Sayang belum dilakukan penelitian meluas di Indonesia. Mungkin istilah yang lebih cocok digunakan adalah kekerasan domestik, atau kekerasan dalam relasi personal, yang juga bisa terjadi dalam hubungan pacaran, pertemanan khusus atau relasi personal lain. Dugaan saya ini terjadi pada kisaran 15-25 persen dari populasi.
Karena karakteristik hubungan yang melibatkan kedekatan dan ketergantungan emosi, cukup banyak orang sulit melepaskan diri dari destruksi hubungan. Apalagi pada perempuan yang disosialisasi untuk menomorduakan kepentingannya sendiri, melihat diri sekedar sebagai pendamping atau obyek. Lebih lagi bila perempuan tersebut terlanjur merasa kehilangan “harta paling berharga”.

Keluar dari hubungan destruktif
Saya mengucapkan banyak terima kasih pada seorang gadis manis, GM(25), yang baru menyelesaikan S-2-nya di luar negeri, yang bersedia berbagi dengan menulis surat. Selama empat tahun dia mengalami berbagai bentuk penganiayaan: psikologis, fisik, seksual, hingga yang berdimensi ekonomis dan pacar, Ia memerlukan waktu cukup lama untuk bersungguh – sungguh menyadari dia dalam relasi berbahaya sebelum akhirnya berani memutuskan hubungan.
Beberapa saran yang dia tuliskan mungkin berguna bagi cukup banyak perempuan, dan beberapa laki – laki, yang terjebak dalam hubungan seperti ini.
“Jangan sering mengobral pemberian maaf. Biasanya, pemberian maaf pertama akan berlanjut pada pemberian maaf kedua, ketiga, keempat dan seterusnya sampai-sampai kita sudah tidak tahu lagi batas antara hal-hal yang masih bias dimaafkan dan hal-hal yang sebernarnya merupakan kesalahan besar dan tidak patut dimaafkan.”
Ia menekankan perlunya batas toleransi yang tegas mengenai hal-hal yang bisa diterima dan tidak pada diri pasangan. Ketidaktegasan hanya akan membawa perluasan batas dan akhirnya kita terjebak untuk bersedia memberi toleransi pada hal-hal diluar batas.
“Jangan pernah mengabaikan pertanda apapun. Jika pada awal pacaran dia sudah menunjukkan gelagat tidak baik, seperti berbohong, tidak menepati janji, susah dihubungi, jangan ragu untuk memutuskan hubungan secepatnya. Karena jika dibiarkan berlarut, kita akan terjebak semakin jauh dalam hubungan tidak baik. Dan satu hal yang perlu diingat, dia tidak akan pernah berubah sampai kapanpun! So, don’t waste your time."
Sebenarnya pertandanya bisa jauh lebih luas dari itu, misalnya terlalu cepat marah, curiga dan cemburu, bersikap terlalu posesif dan banyak melarang, berkata atau bersikap kasar kepada kita atau orang lain, egois atau terlalu cepat menuntut dilayani secara seksual.
Telah terlanjur berhubungan seksual, hubungan keluarga yang baik, atau hal-hal lain, tidak perlu menjadi alasan mempertahankan hubungan. Keutuhan kemanusiaan perempuan jauh lebih berharga daripada ukuran “kesucian” yang didasari ketidakadilan.
“Jangan pernah ragu memutuskan hubungan dengan alsan apapun jika memang dirasa hubungan yang dijalani sudah tidak sehat. Hubungan keluarga yang sudah dekat biasanya menjadi penghalang paling kuat untuk kita mau dan mampu memutuskan hubungan. Namun, yang perlu kita diingat, kita bukan mau menikah dengan keluarganya, melainkan dengan dia yang sama sekali tidak mampu memberi pengaruh positif dalam hidup kita.”
GM mengingatkan, penganiayaan tidak hanya bersifat fisik. Salah satu dampak penganiayaan adalah kita kehilangan kemampuan beremosi secara sehat.
“Penganiayaan tidak hanya bersifat fisik. Adapula yang ersifat emosi atau sering disebut emotional abuse. Jika kita merasa emosi kita sering naik-turun dan tidak menentu akibat perbuatan pasangan yang sangat negative, maka saat itulah kita harus mengakhiri hubungan. Jika terus dipertahankan, akan sangat buruk akibatnya pada emosi kita. Misalnya, pasangan berbohong. Karena hal tersebut sering dia lakukan, kita menjadi terbiasa dan akhirnya menganggap berbohong adalah hal wajar dan bias diterima. Kita tidak lagi bias beremosi dengan benar. Kapan harus marahh kapan harus gembira, menjadi hal yang tidak jelas. Yang lebih parah, jika terus dibiarkan, maka pada akhirnya kita menjadi tidak mampu beremosi pada hal apapun.”

Bagaimana bertahan pada putusan yang telah diambil?
Banyak individu yang telah memutuskan hubungan, dalam perjalanan kemudian membatalkan niat itu karena alasan kasihan, takut, atau cinta. Hal ini akan terus mengekalkan lingkaran kekerasan. Bagaimana menghadapi terpaan rasa kangen, kasihan akibat permintaan maaf yang tiba-tiba membanjir, atau ketakutan akibat ancaman?
“Berceritalah pada orang lain mengenai permasalahan yang dihadapi. Kita tidak memiliki referensi cukup untuk menilai pasangan kita (secara baik). Dengan berbagi pada orang lain, banyak masukan akan kita dapat.”
Bercerita pada orang lain akan sangat membantu dalam menghadapi ancaman dan kemungkinan tindakan brutal pasangan. Teman dan keluarga dapat berstrategi membantu melindungi kita.
Jika kekerasan tidak dapat ditoleransi dan sudah memutuskan berpisah, jangan tergoda kembali dengan harpan pasangan akan berubah. Pula, tidak perlu berperan seolah “penyelamat” karena manusia dewasa harus bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Bila ia tidak mampu mengurus diri sendiri, bagaimana ia mampu mengurus keluarga dengan baik?
“Yang perlu: jangan pernah terjebak terlalu dalam pada nostalgia yang indah. Hal tersebut akan memperlemah pertahanan kita. Untuk menghindarinya, buang semua memori tentang dia. Yang perlu diingat hanyalah pelajaran yang kitaa dapat selama menjalani hubungan tersebut. Kalau kita merasakan kangen luar biasa pada pasangan atau nostalgia selama menjalin hubungan, segera alihkan pikiran tersebut dengan menyibukkan diri atau bercerita kepada teman. Biasanya, teman kita akan memandang dengan pandangan menghina,”Hah!! Bagaimana mungkin kamu bias kangen sama orang yang sudah nyakitin kamu sedemikian rupa?” Kalimat-kalimat tersebut biasanya cukup ampuh untuk menyadarkan mantan mantan pasangan ktia bukanlah orang yang baik untuk dikenang, apalagi dikangenin.”

Diakhir suratnya GM menulis:
“Be positive! Yakinlah ada pria baik diluar sana yang sudah ditakdirkan Tuhan untuk kita. Jangan pernah merasa bahwa kita sudah ditakdirkan untuk menjadi pasangannya. We deserve better…..”

Oleh Kristi Poerwandari, Psikolog

Source : kompas

Comments

Popular posts from this blog

Tanjung Balai, Karimun

Sekolah dan Konser Organku...