Belajar Bahagia secara Sederhana

Belajar Bahagia secara Sederhana
Penulis: Kristi Poerwandari(www.pulih.or.id)


Diambil dari www.kompas.com Edisi Minggu, 7 September 2008

Kenyataan hidup menunjukkan banyak yang kini sangat diimpit kesulitan ekonomi. Belum menyaksikan pejabat tinggi yang pintar berslogan dan korupsi.

Kesulitan hidup bagaimanapun membuat orang lebih mudah marah dan frustrasi, sebagian jadi apatis, sebagian lagi melakukan kekerasan dalam keluarga, merampok, atau bunuh diri.

Perlu komitmen utuh memerangi korupsi dan kemiskinan, sementara kehidupan nyata tetap berjalan. Berikut pembelajaran dari yang hidup dalam keterbatasan. Semuanya bekerja di seputar Jabodetabek, berpenghasilan total kurang dari Rp 1,5 juta per bulan.

Bagaimana bertahan dan bahagia dalam keterbatasan?

M, perempuan, staf administrasi, merangkap jadi ”pembantu umum” di kantornya:

”Lampu dapur, depan, kamar mandi dimatikan, kadang bayar listriknya Rp 23.000 atau Rp 25.000. Kalau masak, pas saja. Kadang mampir rumah kakak, dia yang beli beras, saya yang beli sayur. Terus masak, makan bareng. Saya juga sering jalan kaki, dari rumah jalan ke tempat kerja. Anggap olahraga. Istirahat sebentar sembari makan pagi. Pulang juga jalan, kecuali bawa banyak barang”. Karena harus sudah ada sebelum staf lain datang, pukul 06.00 dia sudah berangkat.

Berusia di atas 30 tahun, hidup sendiri di perkampungan, ia sering disindir kapan berumah tangga. ”Kalau main ke rumah saudara, ada saja omongan kayak begitu. Cuma saya sebodo amat, enggak dipikirin, saya enggak mau ambil pusing. Orang saya enggak minta makan sama dia. Pernah ada laki-laki yang terus mengikuti, saya jadi takut. Biar aman, kadang saya bohong, ’Saya sudah punya pacar.’ Saya hati-hati soalnya orang itu pernah mukul istrinya.”

Bagaimana menyenangkan diri sendiri? ”Iya kadang-kadang sedih. Tetapi, ya dijalani saja, dinikmati saja. Kan di rumah sepi, sudah tidak ada TV. Ya dengar musik atau beres-beres rumah, main ke rumah saudara. Pernah juga saya pergi sendiri saja, misalnya ke Mangga Dua. Pulangnya enggak beli apa-apa.”

S, laki-laki, tinggal di rumah mertua. Gajinya langsung habis untuk berbagai keperluan.

”Untung istri saya mengerti. Minyak tanah itu kan tadinya usaha orangtua, berapa drum gitu. Sebulan bisa dapat Rp 400.000, lumayan kan daripada ayah saya ngojek karena dia sudah tua. Berhenti karena diganti gas. Tetapi, gas naik terus dan naik terus. Jadi, saya pikir ini mau jadi apa di Indonesia. Saya kesal banget dengan korupsi. Misalnya, di tingkat RT saja katanya hilang uang Rp 200.000. Kalau baca, saya jadi pusing, beritanya begitu lagi.”

S sebisanya membantu anak yatim anggota keluarganya. Ia juga merasa wajib memberi tahu teman yang bersikap kurang bertanggung jawab: ”Ada saudara yang tidak kerja, tetapi mau kawin, dia ngotot umi (ibu)-nya harus membiayai macam-macam. Dia jeleknya kalau lagi ada masalah malah mabuk, malah menambah masalah. Kalau dia jadi suami, bagaimana? Orangnya malas begitu.”

Bagaimana S membahagiakan diri? ”Kalau Sabtu atau Minggu, saya sama istri belanja. Saya suka olahraga, main bola dan badminton. Saya juga suka baca olahraga, politik luar negeri. Kan ada pemilihan presiden di Amerika. Ikut semangat dengan perjuangan Obama. Senang banget saja kan dia pernah di Indonesia.”

H, ayah dua anak, bekerja sebagai staf administrasi dan buka warung.

”Dulu saya kalau omong keras, jadi jarang ngobrol. Masalahnya biasanya keuangan. Pernah istri mau pinjam uang pakai sertifikat tanah untuk tambah modal warung. Hati saya nolak. Soalnya ada tetangga begitu, pinjam uang di bank, rumah untuk jaminan, akhirnya tidak sanggup bayar. Saya memang keras ngomongnya. Istri tidak terima. Saya dikasih tahu teman, bicaranya pelan-pelan. Akhirnya saya minta maaf, sudah ngomong keras. Sekarang saya coba bicara pelan-pelan, kasih pengertian. Alhamdulillah kalau ada masalah diobrolkan saja.”

Yang membahagiakan? ”Ya bareng keluarga. Ngobrol. Kalau pulang kerja, ketemu anak perempuan yang kecil, yang akan mengejar, memeluk, mencium tangan, lalu cerita gitu ’tadi jatuh, sakit’…”

S dulu tidak pernah bisa menabung, paling ikut ”arisan pengantin” yang diikuti anak-anak muda. Kalau sudah jelas kapan menikah, uangnya bisa diambil. ”Sekarang kami coba nyimpen. Dari saya seratus (ribu rupiah), istri seratus (ribu rupiah), persiapan kalau nanti dia hamil, melahirkan….”

V, ibu bekerja, sempat berpisah bertahun-tahun dari anak-anak karena perlakuan suami yang sangat menyakitkan, memberi beberapa saran:

”Kita harus membuat skala prioritas dan berhemat. Produk rumah tangga ada yang sedikit lebih mahal, tetapi cepat menghilangkan kotoran atau lemak, jadi jatuhnya lebih hemat dan murah.

Baginya peran Tuhan besar sekali, seperti misteri. Justru setelah pasrah dan tidak menuntut apa-apa lagi dia merasa malah diberi kemudahan. Kematian mantan suami membuat dia dapat berkumpul kembali dengan anak-anak.

”Yang membahagiakan bisa kumpul lagi, membuatkan sarapan bagi anak-anak. Mendengarkan musik atau membaca. Kalau anak-anak sih, dengar musik, ikut olahraga.” Anak-anak mengerti, dan dengan senang hati bahu-membahu dengan ibunya.

”Intinya ikhlas. Saya ikut pengajian yang tidak sibuk syariah saja, tetapi mengajarkan esensi hidup. Seperti pencerahan, mengembalikan kepercayaan diri. Anak-anak juga melihat ibunya tidak lemah seperti dulu. Selama terpisah dari anak-anak saya belajar melepaskan diri dari ikatan, misalnya, pada harta. Di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Tetapi, untuk menemukan kemudahan itu kita harus menjalani dulu kesulitannya.”

Ia yang senang membaca The Secret dan buku-buku tulisan Paulo Coelho, yakin, bila kita sungguh-sungguh menginginkan sesuatu (yang baik), seisi alam semesta akan membantu mewujudkan impian itu.

Comments

Popular posts from this blog

Tanjung Balai, Karimun

Sekolah dan Konser Organku...