Kekerasan dan Pendidikan dalam Keluarga

KEKERASAN DAN PENDIDIKAN DALAM KELUARGA
Penulis: Kristi Poerwandari(www.pulih.co.id)

Saya selalu ingat kata-kata psikolog yang sesekali tampil dalam acara Oprah Winfrey, “When we have children, we lose our right to self-destruct,” yang mungkin menggambarkan salah satu inti masalah bagaimana orangtua harus berperan mendidik anak.

Destruksi tidak pernah hanya merugikan atau menghancurkan pihak lain. Pada akhirnya destruksi juga selalu merusak diri sendiri, setidaknya, lingkungan terdekat kita. Bayangkan: kita memukuli orang dari kelompok lain, pada akhirnya kita dihantui ketakutan akan pembalasan, dan selalu menghindar dari polisi yang kita pikir akan menangkap kita. Memukul istri dan anak juga menghancurkan hubungan dan diri sendiri. Barangkali kita dapat mengembangkan lapis-lapis mekanisme pertahanan diri: menyalahkan istri atau anak, merasionalisasi, melakukan projeksi dan pengingkaran. Tetap intinya sama: bila berani berhadapan jujur dengan diri sendiri, kita malu, marah dan muak menyadari perilaku kita sendiri. Dan karena tak mampu mengelola perasaan-perasaan negatif itu, perilaku destruksi tak berhenti, terus bergulir dengan lingkaran makin lebar.

Destruksi sebaiknya juga tidak dibatasi pada hal-hal yang sudah sangat parah seperti kekerasan. Destruksi dapat tampil dalam perilaku-perilaku lain: membiarkan diri menganggur, terjerat kecanduan makanan, obat, atau seks, putus asa karena sakit dan tidak berdisiplin merawat diri, dan lain sebagainya.

Orangtua yang pikiran, perasaan, dan perilakunya cenderung mengarah pada destruksi membentuk anaknya untuk juga mengembangkan pola destruksi itu. Destruksi orangtua perlu diartikan luas: marah-marah dengan alasan tidak jelas atau tidak sepadan, bersikap tidak konsisten – hari ini sangat ketat mengatur perilaku anak, besok membiarkan anak membolos sekolah –, memiliki hubungan buruk antara suami-istri, membiarkan anak melakukan kesalahan-kesalahan serius tanpa menanamkan nilai baik-buruk secara jelas, dan tentu saja, mendisiplin atau menghukum anak dengan kekerasan.

Saat ini saya sedang membimbing penulisan tesis S2 Magister Psikologi Klinis, yang meneliti beberapa subjek laki-laki yang melakukan pembunuhan di usia remaja. Data telah diperoleh, dan banyak sekali pembelajaran dapat diambil dalam proses analisis. Pembelajaran pertama: orangtua mendidik melalui contoh. Bila contoh yang diberikan buruk, sangat sulit mengharapkan perilaku positif dari anak. Ketika anak sehari-hari melihat ayahnya memalak dan memukuli ibunya, ayah menumbuhkan dan memantapkan emosi-emosi negatif pada anak. Anak muak dan marah dengan perilaku sang ayah, dan bukan itu saja, ia melihat dunia sebagai arena yang menakutkan, memuakkan, mencurigakan, harus dihindari, atau sebaliknya, harus dilawan. Karena tidak punya figur teladan lain, meski kebenciannya pada ayah, pola perilaku ayah ternyata terinternalisasi menjadi perilakunya juga.

Pembelajaran kedua: orangtua memiliki peran khusus, yakni sebagai tokoh otoritas yang menanamkan nilai-nilai baik-buruk, benar-salah, dalam cara dan dengan pesan yang tepat. Kadang peran sebagai tokoh otoritas dipahami sebagai suatu bentuk kekuasaan tak terbatas bahkan kepemilikan. Orangtua menganggap diri berhak melakukan apapun untuk mendisiplin anak: dengan membandingkan, merendahkan, melakukan kekerasan fisik. Dengan cara seperti ini, orangtua sebenarnya bukan sedang menanamkan nilai baik-buruk, melainkan sedang menghancurkan harga diri anak.

Ada kemungkinan pula yang terjadi sebaliknya: sedemikian khawatirnya orangtua akan kesejahteraan anak, orangtua kemudian membiarkan saja bahkan melindungi anak yang melakukan hal-hal yang kurang positif. Mulai dari membiarkan anak bicara kasar, membolos, berkelahi, mabuk, hingga melindungi perilakunya yang buruk. Salah satu subjek dari Yuni Sugiyo, mahasiswa S2 saya itu, adalah laki-laki muda yang sebelumnya – dalam suatu kerumunan – ternyata telah pernah membunuh orang lain. Yang kemudian didakwa dan diputuskan sebagai pelaku adalah temannya sendiri. Ayah subjek ini mengetahui cerita yang sebenarnya, tetapi melindungi sang anak, dan memang pola seperti ini – dimana orangtua membiarkan anak melakukan hal-hal destruktif – tampaknya telah dijalani sejak subjek masih sangat kecil. (Lalu? Saya sudah, langsung di rumah sudah pusing. Mengambil pakaian, langsung ke rumahnya simbah, teman-teman semua mencari di rumah, lalu menjelaskan masalahnya yang terjadi. Setelah tahu orang tua bersikap bagaimana terhadap kamu? Kaget, mbak. Kaget? Lalu? Kaget, kemudian menjemput saya, marah-marah. Saya minta maaf sama orang tua. Tapi orang yang kena batunya tadi, rombongan di belakang itu tetap ini ya, tetap dihukum ya? Iya. Bapak tahu tentang masalah itu? Tahu. Bahwa ada kambing hitam yang bukan kamu penanggungnya. Iya. Tujuh belas tahun hukumannya.)

Pembelajaran ketiga: dalam keluarga perlu ada komunikasi dua arah yang berjalan baik, antara suami-istri, maupun orangtua dan anak. Orangtua perlu hadir, ada bagi anak, memberi rasa aman sekaligus menanamkan nilai-nilai, dengan memantau apa yang dilakukan anak. Sayangnya, di banyak keluarga yang terjadi justru sebaliknya, ketika masing-masing anggota menyimpan rahasia dari yang lain, membiarkan hal-hal negatif berlarut dan bergulir menjadi lebih buruk. Berikut kutipan transkrip Yuni: Sejak kecil, ayah menyerahkan keputusan pada anak, sementara orang tua hanya mengarahkan. Bapak tidak pernah memukul anak, dan saat bapak marah anak hanya mengangguk di depan bapak, dan bapak tidak lagi memantau apakah anak melakukan nasihatnya atau tidak. Dalam komunikasi sehari-hari, bapak tidak berdikusi dengan anak dan tidak mengetahui isi hati anak karena bapak mengaku jarang di rumah (sering bekerja di daerah lain), dan tidak banyak berbicara dengan anak. Saat anak menjadi pelaku pembunuhan, ada jeda 10 hari sebelum penangkapan. Saat itu anak berada di rumah, tetapi juga tidak menceritakan apa-apa pada Bapak. Bapak menduga ibu diberitahu anak, tetapi ibu juga tidak memberitahu bapak.

Terakhir: tidak ada orangtua yang sempurna, dan tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi orangtua serta menuntutnya untuk menjadi sempurna. Bukan cuma orangtua atau keluarga yang menanamkan nilai-nilai dan perilaku. Pada anak dan remaja, peranan kelompok sebaya amat sangat besar, bahkan tidak jarang lebih besar daripada peran keluarga. Seorang subjek bercerita mengenai keluarganya yang damai, dengan orangtua yang sering mengajak anak bermusyawarah. Toh ia terjerembab ikut dalam penganiayaan yang dilakukan bersama teman-temannya, yang mengakibatkan kematian.

Pada akhirnya, kekerasan memang fenomena yang amat kompleks dan masih harus terus dipelajari dari berbagai sisi. Keluarga berperan sangat besar dalam menyosialisasikan nilai-nilai kekerasan atau nilai-nilai non kekerasan. Meski begitu, faktor-faktor yang terlibat amat banyak yang sulit direduksi hanya pada keluarga. Karakteristik pribadi masing-masing individu berperan penting, juga kelompok sebaya dan kelompok referensi lain. Dari sisi di luar psikologi, ada sangat banyak pula hal yang memerlukan pembenahan untuk meminimalkan terjadinya tindak kekerasan. (Kristi Poerwandari)

Comments

Popular posts from this blog

Tanjung Balai, Karimun

Sekolah dan Konser Organku...